Bicara: Cita - Cita

Hallo semua. Balik lagi nih nulis, Alhamdulillah saya lancar dah nulisnya (banyak ide, banyak waktu). Mumpung masih minggu terakhir liburan semester kuliah, daripada scroll Instagram ga selesai selesai terus akhirnya iri sama temen yang liburan, yaudah liburan sendiri dengan nulis! Yey!

Hmm, cita - cita ya. Kayanya judul ini tuh udah sering banget aku tulis di blog, beda judul, tapi intinya sama. Emang dasaran anaknya yang ambisinya gede, cita - citanya banyak (used to tho), terus masa depan udah disusun rapi sampe ada chapter-nya segala.

Oh iya, ini ketiga kalinya nulis dan post tulisan dengan tema ini di blog. Jadi, bagi yang udah baca sebelumnya, don't be surprised ya sama confenssion di post kali ini.

Dulu waktu kecil pasti guru SD pada suka nanyain kalau udah besar mau jadi apa. Macem - macem lah jawabannya dan jujur aja dulu aku paling lancar ngasih jawaban dan juga alasan (iya segitunya) kalau udah ditanya hal begituan. 
Tapi...

Confession: Sampai detik ini, gatau mau jadi apa

Kalian, selain pembaca baru, pasti tau lah, anak satu ini waktu kecil mau jadi apa; jadi dokter bedah otak. Ini anak yang kalau dibilang beberapa temennya udah paling tau mau kemana, mau ngapain, mau jadi apa, mau hidup dimana, sekarang dengan santainya bilang gatau mau jadi apa.

Cerita sedikit. Waktu SMA tuh pasti tau lah ya apalagi yang sekolah 'kawasan' yang namanya tujuan tuh udah ada dari kelas dua SMA, kalau bisa dari masuk SMA tuh udah harus ada, just for the sake of the mighty SNMPTN alias Jalur Undangan. Dengan kondisi yang kaya gitu, bahkan dari SMP, aku udah tau mau masuk kuliah jurusan apa, universitas mana, mau jadi apa, bahkan tinggal dimana 10 tahun lagi tuh udah tau harus dimana. Iya, se-ambisius itu.

Dua tahun sekolah jalan, makin kuat aja keinginan dan ambisi, tiga tahun sekolah mau gamau harus makin kuat walaupun sempet beberapa kali slapped by the facts that it was really hard. Udah selesai tiga tahun sekolah SMA, eh sekarang udah mau jalan dua tahun kuliah di tempat yang jauh banget perkiraan.

Hasil dua tahun kuliah pun masih tetep, ya gatau mau jadi apa.

Sebenernya gaada yang salah sih kalau sampe sekarang tuh gatau mau jadi apa (not a self-defend), karena ya emang kalau dipikir juga kita, manusia, semuanya masih dalam masa trial (trial terlama) kehidupan. Sampai kapan kita masa trial? Ya itu juga gatau, mungkin sampai kita 'ketemu' sama diri kita atau juga mungkin sampe kita udah di bawah tanah. It all depends on how you think about the life itself.

Kalau pun di-trace dari umur dua tahun, emang yang namanya keinginan itu gaada habisnya, berubah terus. Keinginan berubah itu ada banyak faktor, lingkungan, wawasan and you know the rest. Tapi yang paling ngena di diri manusia itu, kalau ga tuntutan ya comfort zone. Sampai umur sekarang, aku masih inget dulu mau jadi apa, mulai dari astronot, chef, dancer sampai designer semua pernah jadi bagian dari keinginan aku. 

Makin tua, makin paham sama keadaan dan comfort zone sendiri, keinginan sebanyak itu diganti dengan keinginan jadi dokter.

For some people, having a dream for becoming a doctor has never been called as 'comfort zone', but for me, yes it is. That was sound cocky as hell ya? But really, doctor is a safe option for me. I've always been good to anything related to human body, especially the anatomy, physiology of it.

Masih inget banget kenapa pingin jadi dokter alasannya ada dua:
  1. Emang pengen pake banget
  2. Menghindari fisika (khususnya listrik)
Iya, dua alasan itu kenapa selama tiga tahun di SMA beneran fokus ke undangan. Tetep sih selama tiga tahun itu juga harus berjuang (ceilah) sama fisika, dan juga ngerasa udah cukup banget selama enam tahun sekolah harus belajar fisika.

Se-menghindar itu...

Nah terus sekarang kuliahnya di jurusan teknik telekomunikasi, departemen elektronika. Yang awalnya menghindari fisika, khusunya listrik, malah kuliah di tempat yang isinya listrik. Emang ya kadang Allah tuh nge lucu hebat banget.

Awalnya emang ngerasa apa banget, why should I study things that I'm not really into for four years of my life?

Akhirnya setelah jalan dua tahun kuliah, kepikiran deh sama yang namanya comfort zone itu sendiri.

If I went to medical school, I won't have the chance to fight more for the sake of my life. Because I would like doing it and I wouldn't have this kind of perspective of life. 

And now, going to an engineering school, the school which I tried to avoid the most, makes me think that this is good, this is what I need. Allah does know that I need to continue my fight for the sake of my life, that's the reason why I'm going to engineering school now.

He basically loves me too much...

But...
Walaupun udah punya realization sebegitunya, tetep sampe sekarang masih gatau mau jadi apa.

But I'm sure time will tell and show me, that actually everything that I do right now is for the good of me and also umma. I'm sure whatever I'm doing right now, is it stressful or not, it's good for me. The only thing I can do right now is trying the best, surviving it, because after-all everything we've gotten and studied eventually will be used for the umma.

Like once I wrote before, I have the dream to help people. Cita - cita yang pasti sekarang adalah menolong orang orang, the people of the world. With everything I can do, whether i'll use the things I got from the field I study or not, the intention of myself is the important thing, which is helping the people of the world, to live better.

And in the end, if you still don't know what you're going to do after graduating the school you're in right now, it's okay. At least you do know what do you want to be for the world. 

It's either someone who brings goodness to the world or the opposite, that's the task you need to solve.

And how to do it, you'll find out later. Time will tell because God, eventually is the best planner from all.